Selasa, 25 Agustus 2020

Pesan Dibalik Merdeka

Tak terasa tiga perempat abad sudah Republik Indonesia menggenggam kemerdekaannya. Kemerdekaan yang dicapai dengan memeras keringat, menitikkan air mata hingga menumpahkan darah insan-insan luhur yang bercita-cita tinggi terhadap bangsa ini. Begitu mahal 'harga' merdeka itu hingga untuk mendapatkannya tidak sedikit yang harus dikorbankan. Akan tetapi, pengorbanan yang tulus dan mengharap ridha-Nya tidak akan pernah sia-sia. Sejak 75 tahun lalu hingga saat ini, telah banyak kisah yang dilewati oleh rakyat Indonesia. Ujian untuk mempertahankan kemerdekaan selalu datang menghampiri. Mulai dari dendam musuh-musuh lama (Pertemuan 10 November, Peristiwa 5 hari di Semarang, Medan Area, Agresi Militer Belanda I & II, Bandung Lautan Api, dan lain-lain) hingga ulah "anak-anak" bangsa sendiri (Pemberontakan Andi Aziz, Kartosoewiryo, Republik Maluku Selatan, hingga G-30S/PKI). Dapatlah kita saksikan kisah-kisah itu dalam buku-buku sejarah yang hingga saat ini masih dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan di negeri ini. Di era modern pula, disaat teknologi semakin canggih, hidup serba mudah, berbagai pengaruh dari luar mulai berdatangan yang mana kita sebut dengan era globalisasi. Muncul berbagai ujian-ujian baru yang dihadapi oleh generasi saat ini. Bukan lagi serangan secara fisik yang dilakukan, melainkan dengan cara yang lebih ampuh yang dampaknya dapat dirasakan oleh generasi-generasi mendatang. Serangan apa yang lebih ampuh daripada serangan menggunakan senjata? tidak lain yang dimaksud adalah serangan melalui pemikiran. Dimasukkan "racun-racun" kedalam pikiran anak-anak muda dengan budaya-budaya asing yang merusak. Tontonan, gaya hidup, sikap, hingga cara berpikir pun hendak meniru barat. Alasannya supaya tidak ketinggalan zaman. Tidak sadar kita dibuatnya, karena sibuk dengan mencari dunia. Lupa pula memberikan pendidikan-pendidikan moral dan agama kepada tunas muda yang baru tumbuh yang rentan tertiup angin lantaran akarnya belum kuat. Sehingga perlahan tapi pasti, tidak perlu "mengotori tangan", generasi muda itulah dengan sendirinya akan berjalan menuju jurang kehancuran. Dan kita hanya menjadi penonton yang menikmati "tragedi mengerikan" itu sambil menitikkan air mata penyesalan. Lalu, patutkah kita masih berpangku tangan tanpa melakukan apapun kepada bangsa ini? kepada generasi muda? Lalu bagaimana amanat yang dipikulkan para pahlawan diatas pundak kita? Rasanya, jika kita masih punya akal sehat dan hati nurani, maka pasti kita tidak akan terima jika hal itu sampai terjadi. Sehingga kesadaran patut kita tumbuhkan mulai dari diri pribadi. Kontribusi apapun yang dapat kita lakukan, maka berikanlah untuk bangsa ini! Jangan merasa rendah karena kecil peran yang kita berikan. Sebab, walaupun hanya seuntai doa yang dipanjatkan di tengah malam, itu juga memiliki arti yang besar. Saat ini, negara kita sudah banyak orang-orang pintar dengan gelar yang bermacam-macam. Berbagai bidang ilmu pun sudah ada ahli-ahlinya. Tidak tanggung-tanggung biaya dihabiskan untuk mencari ilmu, bukan dekat-dekat tempat yang ditempuh untuk menimba ilmu, bahkan rela meninggalkan kesenangan dengan keluarga. Sehingga, setelah ilmu didapat, disandanglah gelar-gelar di ujung dan pangkal nama seperti Sarjana, Magister, Doktor, hingga Professor. Jumlahnya pun bukan sedikit, ratusan hingga ribuan. Sudah patutlah kita mengatakan bahwa orang Indonesia ini adalah orang yang hebat. Namun, apalah gunanya gelar setinggi langit jika tidak ada kontribusi untuk bangsa ini. Sehingga pada hakikatnya tidak ada kata "tidak bisa" melainkan apakah kita mau berkontribusi atau tidak? Sudah saatnya kita mengambil peran sesuai dengan bidang keahlian masing-masing.Jangan pula semua orang ingin jadi menteri pertanian, karena untuk mengurus sawah diperlukan tenaga petani. Jangan pula semua ingin jadi dokter, karena kalau tidak ada pasien dokter akan menganggur, dan jangan semua ingin jadi kepala pemerintahan karena tanpa rakyat tidak akan ada namanya pemerintahan. Berjuanglah dimasing-masing lini kehidupan tanpa harus memandang tinggi rendahnya jabatan. Jangan malu walau hanya jadi petani, karena tanpa petani darimana padi didapat. Jangan malu jadi seorang kuli, karena tanpa kuli siapa yang mau mengangkat barang-barang. Masing-masing punya peran, masing-masing punya tanggung jawab, dan itu semuanya akan menjadi mulia jika diniatkan sebagai ibadah kepada Allah Swt.